Cerita Tentang Sebuah Nama
Entah kenapa, saya
tiba-tiba menjadi begini melankolis. Duduk. Termenung sendiri lalu mulai
curhat. Kenapa? Kenapa bisa begini? Ini semua pasti gara-gara Rendo. Perempuan
dengan rambut panjang tujuh depa itu datang dengan tiba-tiba. Memamerkan senyum
amnis lewat bibir tipisnya (Mama selalu bilang. Perempuan yang berbibir tipir,
itu perempuan cerewet.) Saya menikmatinya sebagai anugerah yang serta merta
diperhadapkan pada hariku yang suntuk.
Kemudian, saya menjadi
tersenyum sendiri. Itu dilakukan setelah senyuman Rendo menghilang dari
imajinasiku. Okelah. Rendo boleh pergi, tapi di mana perempuan senja itu. Masih
adakah dia menikmati senja sesiang ini? Senja yang indah baginya dan biasa saja
bagiku. Ia terlalu absurd. Saya yang membayangkannya menikmati senja, juga
absurd. Dan saya lalu mengingat sendiri nama saya.
Sejarah nama saya,
memang belum dicatat dalam lembaran histori apa pun, karena itu, biarlah saya
mencatatnya sendiri, supaya kamu dan kamu bisa mengenangku sebagaimana kita
mengenang masa remaja kita yang saling malu-malu menitip mata untuk dibaca jadi
puisi. Cinta. Kamu akan tersenyum ketika kita mensejajarkan garis pandang yang
berlawanan arah.
Tentang nama, saya
mempunyai berbagai macam nama. Ini sebetulnya hanyalah kecelakaan kecil ketika
saya yang pemalu ini, mencoba dengan malu-malu untuk lebih membuka diri
sehingga tidak malu. Mulailah saya ketika sekolah menengah pertama. Orang tua
dan saya sendiri mengantarkan saya untuk bersekolah di salah satu SMP di
Kabupaten Ngada. Itulah hal pertama yang mengisahkan nama saya. Seorang kakak
kelas memanggil saya ‘Yohan’ maka, semua pun ikut memanggil saya demikian. Seorang
teman dari Nangapanda, tapi berbeda kampung memanggil saya ‘Yo’ Bahkan
setelahnya orang memanggil saya Dawi. Saya sendiri tidak tahu darimana asal
kata Dawi itu. Ia hanya sebuah nama yang ditempatkan sebagai nama famili saya. Padahal,
dalam keluarga besar kami, tidak ada yang bernama Dawi.
Oh ya, mengenai nama
Dawi ini, kayaknya saya harus enceritakan sedikit kisah masa bayi saya yang
diceritakan mama. Sebenarnya saya dinamai Bhanggo. Sebagai pengganti nama kakek
Bapak saya. Bagi kebiasaan adat di kampung kami. Menamakan anak pasti selalu
menggantikan nenek moyang terdahulu, untuk mengenang mereka. Kadang juga pada
saat dilahirkan dinilai mirip atau pas orang itu meninggal dan lain sebagainya.
Maka orang tua akan terus mengenang mereka dengan menamai anaknya demikian. Kembali
ke persoalan tadi. Ketika bayi, saya sering mennagis dengan alasan yang tidak
jelas. Bahkan ditengah malam ketika semua orang terlelap. Orang tua saya mulai
mengambil sikap. Katanya, saya menangis karena salah diberikan nama. Dukun kampung
pun diundang untuk melakukan ritual pencarian nama baru saya. Pada ritual itu,
ada ayam jantan yang disembelih, ada pisang raja merah, bebijian beras (bhongi), dan makanan lainnya. Acaranya dilakukan
ketika subuh. Dari ritual itu, terlahirlah nama Dawi di belakang nama serani
saya.
Di SMP ini pula
beberapa teman memanggil saya ‘Said’. Ketika SMP kelas tiga, karena saya
berpindah sekolah, teman-teman di sekolah yang baru memanggil saya ‘Yoakim’. Setelah
SMA saya meng-aliaskan sendiri nama saya menjadi ‘Yodi’- Singkatan dari Yohakim
Dawi. Setelah kuliah, teman-teman tidak mau memanggil saya Yohakim. Katanya terlalu
panjang. Mereka lalu ‘membaptis ulang’ dengan nama Jo. Seiring dengan
perkembang waktu, kala facebook mulai ternar dikalangan mahasiswa waktu itu,
saya membuat aku juga dengan nama Djho Izmail. Maka nama saya sekarang
demikian.
Di rumah entah di
Kupang, di Kampung Rajawawo atau pun di Woloare, semua keluarga memanggil saya
Yaki. Ketika masih SD, bapak memanggil saya Hakim. Dan beberapa saudari saya,
karena tuntutan adat (ini sulit dijelaskan), memanggil saya Kia. Yang sebenarnya
mama menamai saya Yohakim lantaran beliau yakin setelah dilahirkan nanti saya
pasti berjenis kelamin laki-laki. (empat kakak saya, perempuan). Maka saya
dipanggil Yaki tanpa ‘N’ karena kebiasaan orang ende yang menghilangkan huruf
konsonan di akhir sebuah kata. Itu karena keYAKINan mama saya. (dulu di kampung
kami, tidak ada revolusi KIA dan segala macam tetek bengek prenatal dan
antenatal care).
Sampai sekarang saya
lebih suka di sapa Djho (Izmail). Mungkin lebih keren lagi jika, seseorang,
entah perempuan senja, wonga, rendo ada yang merasa diri bidadari memanggil
dengan kata ‘Sayang’
“Hei, jangan menulis
saja. Cepat usir Bangsa Portugis dan pendatang dari Kerajaan Gowa yang mau
menjajah kita.” Rendo tiba-tiba berteriak dekat sekali di kupingku.
“Biarkan mereka saling
membunuh. Kita orang yang cinta damai.” Saya terus menulis.
“Kamu lelaki yang tidak
lelaki.” Wonga, Rendo dan Perempuan Senja serentak menghujat saya.
“Biar!” Saya menantang.
*
“Mana invoice untuk tagihan bulan oktober?” Seorang
Pegawai tiba-tiba masuk ke ruangan saya dan bertanya.
“Sementara saya selesaikan, Pak.” Saya menjawab
dengan sedikit menipu sambil mematikan sebuah video di radio streaming.