Fragmen Senja yang Tak Selesai
Foto dr Seorang Senja |
Senja kemarin nampak
beku di kotaku. Tak ada tepatnya. Mendung lebih perkasa menyembunyikannya dari
balik awan yang paling kelam. Hanya ada sore dengan rintik hujan yang
menyembarak. Seperti jatuhnya percik kembang api tahun baru. Bedanya, percik
ini hanya berwarna bening. Lain dengan kembang api yang menghadirkan beribu
spektrum warna. Ini tentang latar senja kemarin di kotaku.
Entah dari mana,
seseorang tahu bahwa senja tak ada di ujung cakrawala kotaku. Ia yang berada di
dunia antah berantah kemudian mengirimkan sebingkis pesan gambar ke ponselku. Sebingkai
senja dari tempatnya. Begitulah kira-kira judul pesannya.
Ia tak tahu bahwa
ponselku belum sempurna menerima gambar. Apa pun itu. Bahkan hanya seulas
gambar senyum saja, ponselku menukarnya dengan dua titik dan sebuah tanda
kurung. Tak apalah dengan ponselku. Ia milikku yang kutukar dengan keringat
lelahku selama kuliah.
Tentang pesan gambar
itu, aku dengan penasaran mencari ponsel yang telah dirancang tepat untuk bisa
menerimanya. Menukar kartu sim-ku dengan orang yang berbaik hati mau
meminjamkanku ponselnya untuk beberapa menit. Sebenarnya dalam kepala aku berangan.
Mungkin saja orang itu hendak mengirimkanku sebuah gambar tentang lowongan
kerja, mungkin juga tentang pertemuannya pada apa yang dirasakannya sangat aku
perlukan. Ternyata dugaanku salah. Ini sebuah gambar senja.
Apakah orang itu tak
pernah tahu bahwa sebenarnya aku merasa biasa saja dengan warna senja. Tak ada
yang istimewanya bagiku. Senja itu hanyalah semacam sakratul mautnya hari. Hari
menarik nafas satu-satu sebelum seluruhnya berubah hitam memekatkan. Hanya itu.
Tak ada keindahan dalam sakratul maut bukan. Atau jangan-jangan, ada yang
membayangkan bahwa ketika sakratul itu, seseorang dengan jujurnya mulai
mengatakan bahwa ada rahasia yang ia sembunyikan selama ini. Harta karun yang
ia kuburkan dalam tanah. Orang itu mengatakan semua kekayaan yang lama ia
timbun. Wea, kamba, jara ne’e sue wesa.
Ah, tak ada. Itu hanyalah
dongeng. Seorang dalam keadaan separah itu tak akan bisa dengan tenangnya
bercerita semuanya. Lalu si pendengar cerita mulai senang. Seminggu setelah
upacara penguburannya ia ke tempat yang diceritakan mendiang. Menemukan betapa
harta itu menumpuk dan ia membawa semua ke rumahnya lalu menjadi orang yang
kaya. Itu tak mungkin. Itu hanya cerita klise yang ada di dongeng penghantar
tidur.
Bisa jadi pemikiran
seorang terhadap senja itu begitu. Aku tak peduli. Yang aku peduli hanyalah
kenapa ia tak peduli padaku dengan mengirimi sebingkis senja ke ponselku. Apakah
ia tak tahu. Setelah kirimannya itu, aku bersusah payah harus mencari ponsel
lain yang lebih baik dari milikku, hanya untuk menyelesaikan penasaran tentang
apa yang sebenarnya telah bersemayam dalam kotak masuk ini. Sungguh ia tak
tega. Lagi pula sekali lagi. Aku tak suka senja.
Aku masih mengomel
dalam hati dengan kejahilan orang itu. Yang senagaja membuatku penasaran dengan
kirimannya yang ternyata hanya sebingkai senja yang tak aku sukai. Omelan itu
tiba-tiba seperti dihentikan dengan paksa. Pesan lain lagi masuk. “ini aku,
Perempuan Senja.”
Aku terperangah. Ah! Itu
dia. Perempuan yang saban hari aku tunggui kedatangannya di Pante Ria. Di mana
kamu sekarang?