Kanuku Leon di Sifon?
Saya belum selesai
membaca semua cerita dalam Kanuku Leon. Ada dua cerita yang sejauh ini saya
suka. Yang pertama Menikahi Anjing. Tulisan ini menjadi semacam tamparan keras
buat kita orang timur (Indonesia bagian timur, NTT khususnya) di mana sering terjadi
perubahan nilai rasa dalam perbincangan sehari-hari. Makian dari meminjam nama
binatang sampai pada yang paling ekstrim seperti Pu**mai selalu terdengar di keseharian hidup kita. Dan saya
berpikir ini sebuah kesalahan yang terus dilakukan. Bisa jadi semacam tradisi
kesalahan. Atau juga Dogma dalam keseharian. Untuk kasus ini kadang orang
menyamakan panggilan sayang dengan kalimat yang saya maksudkan sebelumnya.
Cerita kedua yang juga
menarik bagi saya adalah Sifon. Jujur semenjak berada di flores, saya tak
pernah tahu tentang sifon. Sampai pada kesempatan saya berkuliah di kupang,
saya akhirnya mengerti tentang sifon. Sebagai latar belakang kesukaan saya,
saya nampaknya mesti bercerita sedikit tentang perkenalan saya dengan sifon. Di
kampus, sifon atau sunat tradisional sering didiskusikan sebagai sebuah
tindakan medis yang keliru. Yang pertama
karena sifon dilakukan oleh dukun kampung atau apa pun nama yang tidak mengerti
mekanisme pembuluh dara dan sebagainya, sehingga besar kemungkinan akan terjadi
pendarahan. Akibat fatalnya ke laut. Yang
kedua adanya tradisi pendinginan (berhubungan seks setelah sifon. Biasanya
dua sampai satu minggu setelah sifon). Diestimasikan hal ini bisa menyebabkan
Penyakit Menular Seks (PMS) – Gonorhe, sifilis, herpes dan sebagainya –bahkan
HIV/AIDS. Itu karena harus melakukannya dengan yang bukan pasangan.
Terlepas dari tinjauan
medis. Sifon adalah budaya yang telah mengakar. Karenanya mempengaruhi cara
pandang semua orang dalam ruang lingkup budaya tersebut terhadap orang yang
telah sifon dan orang yang belum sifon. Sebuah cerita dari teman kos saya – Depergan
Kozt – katanya, jika belum atau tidak melakukan sifon dalam usia dewasa orang tersebut
akan disindir. Bentuk sindiran itu sangat sederhana. Misalnya dalam sebuah
jamuan makan malam di sebuah pesta, jika orang tersebut meminta garam, maka
orang akan menjawabnya begini “kau su
punya garam ju, kenapa minta garam le” artinya orang yang belum sifon
memiliki persedian garamnya sendiri. – pemikiran saya, mungkin karena adanya
bubuk putih di ujung penis bagian dalam akibat kurang dibersihkan itu yang
disebut mereka ‘garam’ –
Di daerah lainnya di
Kabupaten Kupang, perempuan bisa membedakan mana lelaki yang sudah sifon dan
mana lelaki yang belum sifon. Di sini terjadi lagi sindiran. Lelaki yang sudah
sifon biasanya jika disuguhkan pisang masak, pisang itu sudah dikupas. Jika lelaki
yang belum sifon, pisangnya belum dikupas. Ini cerita lain dari teman saya yang
mempercayai ritual itu.
Dalam buku kanuku leon
ini, si pencerita ingin meperkenalkan sebuah budaya yang sudah mengakar di
daratan timor. Sifon dipercaya membersihkan diri dari segala macam aura jahat
atau energi negatif dalam diri seorang pemuda.
Jujur, sejak pertama
kali mendengarnya, saya berpikir untuk meneliti tentang itu untuk tugas akhir,
tapi karena keterbatasan referensi rujukan saya akhirnya mengantinya dengan
judul lain. Hal yang masih saya pertanyakan sampai sekarang ialah, sejarah
sehingga adanya sifon. Ya, semacam latar belakang munculnya itu. Seperti di
daerah saya ada nggua uwi, sebuah
tradisi pengucapan syukur kepada embu
kajo. Semacam doa syukur panen, tapi memiliki ritual khusus dan beberapa
pantangan. Di ritual ini sejarahnya jelas. Adanya campur tangan bangsa portugis
dengan ana deo yang ingin mendapat
simpati dari masyarakat pribumi. Perayaan ekaristi ‘disulap’ menjadi tradisi
budaya leluhur sesuai dengan kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat
setempat. Pada sifon ini, belum saya temukan cerita yang ‘membuat’ sifon itu
ada. Ketika membaca judulnya saya berharap ada diceritanya. Namun, sayang. Tak ditemukan.