Menikahi Anjing dalam Kanuku Leon
Sebuah Flashback Refleksi atas
Pengalaman
Wonga menangis. Saya
lebih tertarik membaca Kanuku Leon, dibandingkan harus menemaninya mengobrol.
Tepatnya mendengar curahan hati. Ia lagi galau sekarang. Beberapa temannya
menjauh hanya karena ia berpacaran dengan lelaki hitam yang tak ganteng. Bagi
mereka itu pembawa musibah, karena semua temannya memiliki kekasih yang
ganteng, putih, berambut lurus dan berada.
Ia memberontak, karena
memang kebanyakan perempuan itu keras kepala. Tak mau mendengar apa yang orang
sampaikan sebelum benar-benar membuktikan. Ini karena pengaruhi mereka
cenderung mengedepankan emosi daripada logika. Dan kini ia ngambek dengan saya. Katanya saya apatis. Cuek dengan setiap
keadaan dirinya. Lelaki penghayal yang takut dengan keadaan. Muka belakang.
“Wonga, diam! Jangan
mengganggu proses kreatifku” kataku sedikit membentak, pada perempuan fiktif di
kepalaku.
Ia yang dari tadi
berkata manja dan merayu di samping kiriku berubah cemberut.
“Saya tahu. Kamu lelaki
tukang gombal. Pemberi harapan palsu. Pasti karena kamu sudah menemukan
perempuan lain, kan? Perempuan Senja taik kucing itu.”
Ia mengomel dan pergi
sambil membanting pintu kamarku. Aku sedikit kaget dengan bunyi pintu. Lalu kembali
lanjut membaca Kanuku Leon.
***
Saya belum selesai
membaca semua cerita dalam Kanuku Leon. Ada dua cerita yang sejauh ini saya
suka. Sifon dan Menikahi Anjing. Kali ini saya hendak melakukan perjalan
ingatan masa lalu dan refleksi diri terhadap cerita menikahi anjing. Tulisan
ini menjadi semacam tamparan keras buat kita orang timur (Indonesia bagian
timur, NTT khususnya) di mana sering terjadi perubahan nilai rasa dalam
perbincangan sehari-hari. Makian dari meminjam nama binatang sampai pada yang
paling ekstrim seperti Pu**mai selalu
terdengar di keseharian hidup kita. Dan saya berpikir ini sebuah kesalahan yang
terus dilakukan. Bisa jadi semacam tradisi kesalahan. Atau juga Dogma dalam
keseharian. Untuk kasus ini kadang orang menyamakan panggilan sayang dengan
kalimat yang saya maksudkan sebelumnya.
Berangkat dari itu,
beberapa cerita saya selalu (paling tidak) menyoroti hal ini. Misalnya, seorang
yang memanggil orang lain anjing. Secara logika, ia telah berbicara dengan
anjing. Dan yang bisa berkomunikasi dengan baik, lancar dan dapat secara
gamblang dipahami oleh anjing hanyalah bangsa mereka, anjing. Seperti dalam
tulisan di cerpen menikahi anjing. Ia ternyata telah menikah dengan seorang
perempuan yang selama ini ia panggil anjing. Kesimpulannya ia telah menikah
dengan anjing. Bisa dibayangkan jika seseorang manusia menikah dengan anjing
apa jadinya. Mungkin saja dia mengidap bestialitas/zoophilia suatu kebiasaan untuk tertarik
dan suka berhubungan seks dengan binatang.
Dalam keseharian sering
kita temukan hal semacam itu. Pernah di kampung saya. Om - saudara lelaki mama
saya – memanggil anaknya dengan sebutan kamba
yang artinya kerbau. Sejak saya SD saya sering mendengar demikian. Ketika
saya sudah berkuliah, saya merasa mereka sudah bisa menerima pendapat saya
dengan baik. Suatu saat saya pernah omong dengan beliau. Jangan panggil anak kamba lagi. Coba, seandai Om panggil demikian dan
tiba-tiba Roni (nama anaknya) datang dengan bentuk seekor kerbau. Bagaimana
rasanya. (dalam hati saya ingin menyampaikan hal yang lebih ekstrim, kalau
anaknya kamba, bapaknya pasti juga kamba, tapi tidak saya katakan ini, karena
penghormatan saya kepada beliau). Hal lain saya sampaikan lagi. Kenapa NTT menjadi provinsi paling buntut
untuk persentase kelulusan para muridnya? Ini karena kita menganggap anak-anak
kita, kerbau, babi, anjing dan berbagai jenis binatang yang kita pelihara.
Sehingga tak heran jika otak mereka seperti demikian.
Di negeri ini, jarang
adanya penghargaan terhadap anak atau istri oleh suami. Suami cenderung
superior. Hanya menganggap dirinya paling hebat dengan mengesampingkan yang
lain. Dialah yang menafkahi keluarga, bekerja keras dan lain sebagainya. Jika
istri atau anak berbuat sesuatu yang membanggakan atau menguntungkan keluarga,
hanya ditanggapi datar. Tidak ada pujian yang membaut mereka senang dan
termotivasi, tapi jika membuat hal yang merugikan atau mencoreng nama baik,
maka tak segan-segannya dihukum, dipukul dan panggil dengan sebutan binatang
dan makian yang paling tidak manusiawi.
Kira-kira itulah
realitas hidup masyarakat kita. Dan cerita tentang menikahi anjing ini saya
yakin bisa mengajarkan sedikit kepedulian dan intropeksi diri terhadap apa yang
telah dilakukan selama ini. Paling tidak membuat orang sadar ternyata tak semua
yang didengar oleh kebanyakan orang di masyarakat itu baik. Ternyata
menempatkan binatang sejajar dengan anggota keluarga kita itu tdak baik. Bahkan
bis aberimbas lagi ke diri kita. Menepuk
air di dulang, keciprat ke muka sendiri.
Binatang adalah
binatang. Manusia adalah manusia. Semua telah diciptakan berbeda, jangan
disamakan.
***
Wonga datang lagi.
Menunjukan sebingkai senja kepadaku. Ini
kiriman dari Perempuan Senja itu. Katanya kemudian berlalu. Saya melihat
gambar itu. Memegang dan mengamati utnuk beberapa saat, lalu tertidur, dengan
gambar yang mendekap di dada.
1 komentar:
Write komentarwusss....
Reply