Adat Pembelisan dalam Budaya Masyarakat Rajawawo
Rajawawo adalah nama yang melingkupi atau mewakili beberapa kampung di
atas pegunungan. Secara administratif wilayah rajawawo merupakan bagian dari
kecamatan nangapanda, kabupaten ende. Sebagai sebuah kumpulan masyarakat,
tentunya rajawawo juga memiliki peradaban yang salah satunya diwakilkan oleh
adat istiadat. Berdasarkan asal muasal atau legenda yang diceritakan ( tana eku meju, watu nggu ngge)
masyarakat rajawawo juga di kenal dengan nama ata zozo sehingga rajawawo
dengan sendiri di sebut tana zozo.
Adat masyarakat Rajawawo sebagai bagian dari sistem adat Tanah Zozo. Sistem
adat Tanah Zozo menyebar dari Nangge re’e (Nangaba) sampai Paroze’e
(Nangaroro). Sistem adat Tanah Zozo lebih menitikberatkan pada adat patriarkat,
hanya ada perbedaan dalam bahasa dan bentuk pengungkapan barang (belis).
Ada tiga bagian penting dalam adat tana zozo, disamping seremonial adat dan praktek adat lainnya yang dinilai lebih sederhana. Untuk tujuan ini maka mari kita menyoroti aspek kecil praktis adat Tanah Zozo yaitu menyangkut praktek pembelisan dalam realitas
perkawinan, pengerjaan rumah dan kematian.
Adat Pembelisan dalam Budaya Masyarakat Rajawawo
Masyarakat Rajawawo hidup dalam
suatu persekutuan adat yang sama yaitu Tanah Zozo. Tanah Zozo memiliki norma
adat yang mengatur pola relasi
kekerabatan yang bersifat patriarkat. Pola kekerabatan sosial ini terjalin
dalam tiga moment penting kehidupan yaitu: Perkawinan (Wai-Zaki), Pengerjaan rumah (Kema
Sao) dan kematian (Mata).
Pola kekerabatan masyarakat Rajawawo dalam penghayatannya, salah satunya
nampak dalam sistem perkawinanan. Dua sistem perkawinan yang hidup dan
dipraktekan oleh masyarakat Rajawawo yaitu “Ana
Dhei dhato” (anak pilih sendiri) atau “nai
lapu ja” (laki-laki serah diri) dan “Ana
aze” (melalui proses peminangan).
Perkawinan “Ana
dhei dhato” atau “Nai lapu ja”
Perkawinan ini terjadi karena si pemuda sendiri menyerahkan diri atas
kemauan dan keputusannya sendiri. Secara etimologis bisa di jelaskan sebagai
berikut: Ana: anak. Dhei : suka, senang. Dhato: sendiri. Ana dhei dhato berarti si pemuda sendiri yang memilih gadis
pujaannya. Nai: masuk. Lapu: lampu, pelita. Ja: terang. Nai lapu Ja adalah si pemuda masuk ke dalam rumah si gadis yang
menjadi pilihannya saat lampu terang. Dengan demikian orangtua si gadis dan
anggota keluarga lain mengetahui saat kedatangannya. Si pemuda berani berinisiatif untuk datang menghadap
orangtua si gadis secara terang-terangan. Perkawinan ini terjadi karena sudah
ada kesepakatan antara pemuda dengan si gadis. Keduanya suka-sama suka (dhei dhato).
Ada juga
sistem perkawinan “dhei dhato” yang agak berlawanan dengan sistem di atas
yaitu: “tiki zeke, dheo dazo”. Tiki: panjat. Dheo: pegang. Zeke : tiang rumah.
Dazo: bamboo atau kayu untuk alas pelupuh dalam rumah adat. Tiki zeke dheo dazo
artinya si pemuda tanpa diketahui orangtuanya datang ke rumah si gadis secara
diam-diam di malam hari. Perkawinan tipe ini sudah hilang dan tak pernah
terjadi lagi.
Proses perkawinan dan tahap pembelisan “ana dhei dhato”
Tei nia mbeo ngara
Tei: lihat. Nia: muka. Mbeo: Tahu/kenal. Ngara: nama. Makna lugas menurut
etimologisnya yaitu “lihat muka dan mengenal nama”. Tahap ini adalah tahap
perkenalan si pemuda kepada gadis dan orangtuanya. Si gadis memperkenalkan diri
kepada pemuda dan orangtuanya.
Perkenanalan awal ini dari pihak laki-laki memberi barang belis kepada
pihak perempuan berupa gading besar (sue/wesa/toko) dan binatang besar seperti
kerbau (eko). Pihak perempuan membalas pemberian dari pihak laki-laki berupa
beras satu karung (are guni), babi empat pikul (wawi bhei wutu) dan kain
adat/sarung (zuka-zawo sa kadho).
Ungkapan adat yang menyertai tahap perkenalan awal ini adalah “mai si ine, sea
si baba” artinya mai: mari. Ine: mama. Sea: datang. Baba: bapak. Datang sudah
bapa dan mama pihak laki-laki.
Weta mai, eja sea.
Weta: saudari. Mai: datang. Eja: Ipar laki-laki. Se’a: datang. Weta mai,
eja se’a artinya seluruh keluarga besar pihak laki-laki (weta-ane) datang ke
rumah keluarga perempuan (kae-embu) untuk bertemu muka dan bertatap wajah.
Perkenalan mulai lebih luas dari segi subyek yang terlibat dari keluarga dua
pihak dalam urusan pernikahan ini. Pada tahap ini ada pertukaran barang belis.
Dari pihak laki-laki memberi gading (toko) dan
kerbau/hewan besar (eko). Pihak perempuan membalasnya dengan pemberian
juga berupa kain adat perempuan (zawo) dan kain adat laki-laki (zuka) jumlahnya
satu nyiru (sa kadho) serta tikar-bantal
(tee-zani).
Mbeo sao, nggesu tenda
Mbeo: tahu/kenal. Sa’o :rumah tinggal. Nggesu : tahu. Tenda: balai depan sebuah
rumah. Mbeo sa’o, nggesu tenda berarti keluarga pihak laki-laki (weta-ane)
mulai mengenal rumah keluarga pihak perempuan (kae-embu). Pihak laki-laki pada
saat ini memberikan barang belis dalam bentuk gading satu batang (sa toko) dan
emas empat biji (wea sa ziwu).
Kiri pipi, mbinge inga
Kiri: dengar. Pipi: pipi. Mbinge: dengar. Inga: telinga. Makna lugasnya
yaitu “dengar dengan pipi dan telinga”.
Pihak yang berhak untuk mendengarkan ini adalah om dari si gadis (puu-kamu).
Puu: pangkal/pokok. Kamu: akar. Pihak dari mana anak gadis itu berasal. Saat
ini om dari perempuan datang juga untuk turut mendengarkan dan menyaksikan dari
dekat proses adat perkawinan anak gadis dari saudarinya (ane). Pihak laki-laki
saat ini wajib menyerahkan barang belis untuk puu-kamu (om dari si gadis)
sesuai kesepakatan, biasanya berupa emas (wea).
Pete negi, rike nggiki
Pete: mengikat. Negi: kuat. Rike: mengikat. Nggiki: rapat. Pete negi, rike
nggiki artinya mengikat kuat dan rapat serta tak terlepaskan. Tahap ini
merupakan penguatan hubungan cinta laki dan perempuan yang diberi dengan tanda
ikatan berupa cincin emas dan kalung emas. Cincin dan kalung itu adalah lambang
kesetiaan yang diserahkan oleh pihak laki-laki (weta-ane).
Kuni dudu
Kuni : menyuruh atau memerintah. Dudu : jangan takut, jangan segan. Kuni
dudu berarti menyuruh, jangan takut-memerintah jangan segan. Tahap ini memberi keluasan kepada laki-laki dan
perempuan sudah bebas untuk boleh pergi pulang ke rumah perempuan atau
laki-laki. Keluarga laki-laki boleh menyuruh atau mengatur anak perempuan itu
sesuai dengan kehendak mereka begitupun sebaliknya anak perempuan boleh diatur
dan disuruh untuk kerja sesuatu oleh keluarga laki-laki. Tapi tahap ini tidak
memberi keluasan bagi mereka berdua untuk hidup bersama sebagai suami-isteri.
Tahap ini sering disalahtafsirkan secara salah oleh masyarakat rajawawo
sehingga sering disamakan dengan kawin pintas.
Weka tee, soro zani.
Weka : membentang atau membuka.Tee : tikar. Soro: menaruh. Zani: bantal.
Weka tee, soro zani berarti membentang tikar dan menaruh bantal. Pihak yang
berhak membentang tikar dan bantal yaitu dari “puu-kamu”(om si gadis).Tikar dan
bantal ini juga pemberian dari puu-kamu
itu sendiri. Tee-zani adalah symbol rahim .Tahap ini adalah pengresmian
perkawinan secara sah oleh puu-kamu sebagai tokoh kuncinya. Pada tahap ini
anak-laki dan anak perempuan boleh mulai tidur bersama sebagai suami-isteri dan
rahim si gadis boleh dibuka oleh si laki-laki secara sah menurut adat. Inilah
puncak dari proses perkawinan adat itu. Pada kesempatan ini, sebagai tanda
sahnya perkawinan ditunjukkan lewat
pemberian barang belis berupa gading (toko), kerbau (eko) dan emas (wea) untuk
puu-kamu.
Bhanda mere
Bhanda : kaya. Mere : besar. Tahap ini adalah pesta besar. Pengresmian
perkawinan pada tahap “weka tee-soro zani” dikukuhkan secara social melalui
“bhanda-mere) ini. Tahap ini bisa dirincikan lagi atas beberapa bagian beserta
pemberian belisnya.
Mbuku ine-baba: Mbuku: belis. Ine-baba: bapa-mama.Tahap ini juga terjadi
pemberian belis khusus untuk orangtua dari perempuan. Untuk bapa dari si gadis
berupa gading (wesa/toko) dan kerbau (eko) sedangkan untuk mama dari si gadis
(ine) berupa emas murni 10 biji (wea tua).
Mbuku Puu-kamu : Pemberian belis untuk omnya si gadis. Pada tahap ini
puu-kamu (om) akan melakukan seremoni “zeka-ae”. Zeka: siram.Ae: air. Zeka-ae:
menyiram anak perempuan dan anak laki-laki dengan air jernih. Belis untuk adat
“zeka-ae” ini yaitu gading satu batang (sa toko).
Mbuku Uta-nua: Mbuku: pembelisan. Uta: sayur. Nua: kampong. Belis ini
berfungsi untuk memberi makan kepada orang se kampong dalam perjamuan bersama
sebagai tanda syukur dam kegembiraan. Pemberian belis dalam bentuk kamba bhanda
(kerbau besar) dan untuk pensyahan perkawinan secara sosial dalam bentuk “juju”
(membuka kelamin perempuan) dalam bentuk satu batang gading (sa toko). Dan
untuk mama si gadis supaya bisa mengambil
bagian dalam perjamuan makan daging
kerbau uta-nua itu, dari pihak laki-laki memberi belis khusus yang disebut
“kangge-weri”. Kangge: buka/memisahkan. Weri: mulut. Barang belis ini biasanya
berupa emas 30 biji.
Mbuku ndoa-ine/ ndoa baba/ ari kae: Ndoa : kembar/kakak adik mama/kakak
adik bapa/ kakak adik dari si gadis. Pihak laki-laki memberikan belis juga
untuk pihak-pihak ini sesuai dengan kesanggupan.
Tu dhu, nawu jeka
Tu : menghantar, dhu: sampai/tiba. Nawu: selamanya.Jeka : sampai.Tu dhu,
nawu jeka berarti menghantar sampai selama-lamanya. Tahap ini pihak keluarga
perempuan memberi kehidupan untuk anak perempuan mereka dengan memberi pakaian
(zuka-zawo), makanan (are guni), tikar bantal (tee-zani) dan kelengkapan lain
untuk hidupan selanjutnya di rumah tangga yang baru. Setelah itu mereka
menghantar secara resmi anak gadis mereka ke rumah laki-laki (suaminya).Tahap
ini terjadi sesudah malam ketiga yang dihitung mulai malam pengresmian
perkawinan adat (weka tee-soro zani) dan juga sesudah adat “zeka-ae”. Pada saat
ini pula ada pemberian barang belis berupa mbuku nai-sao. Nai: naik/masuk. Sao:
rumah. Nai sao: masuk rumah laki-laki. Dengan demikian anak perempuan secara
resmi pindah marga dari marga asal dan masuk ke marga laki-laki mengikuti garis
keturunan suaminya. Pengresmian menjadi anggota marga baru yang ditandai dengan
pemberian barang belis berupa satu batang gading (sa toko) atau emas (wea) atau
kerbau (eko).
Perkawinan Ana Aze
Ana: Anak. Aze: bertanya. Ana Aze: bertanya kepada anak. Perkawinan ana
aze adalah sistem perkawinan melalui proses peminangan (aze). Keluarga pihak
laki-laki melalui delegasi (utusan) datang melamar anak gadis pada pihak
kae-embu. Kae: kakak. Embu: nenek. Perkawinan ini terjadi dalam proses
pemilihan jodoh; apakah anak yang pilih orangtua ikut dukung ataupun orangtua
yang pilih dan anak ikut dukung. Perkawinan ini
terjadi untuk menjaga martabat dan harga diri kedua anak yang akan
menikah maupun harkat dan martabat keluarga. Keluarga sudah terlibat sejak awal
proses pemilihan jodoh.
Pada umumnya proses dan pembelisan perkawinan melalui peminangan (ana-aze)
sama dengan proses perkawinan “ana dhei dhato atau nai lapu ja”. Perbedaannya
hanya pada proses awalnya saja. Proses
awal perkawinan ana-aze sebagai berikut:
Ono muku, rina tewu
Ono : meminta. Muku : pisang. Rina: meminta. Tewu: tebu. Ono muku rina
tewu berarti meminta pisang dan tebu. Ono dan rina adalah padanan kata yang
berarti meminang atau meminta. Muku dan tewu adalah symbol pribadi anak gadis
yang akan dipinang. Meminang berarti melalui proses sederajat dan terhindar
dari pemaksaan kehendak dari pihak manapun. Untuk mendapat “muku dan tewu”
harus melalui proses perjuangan dan membutuhkan banyak pengorbanan. Pemberian
belis pada awal perkawinan ini adalah emas murni (wea asli).
Teo muku-tanda tewu
Teo : gantung. Tanda: larangan. Teo-tanda: gantung larangan. Tanda ini
menunjukan bahwa si gadis (muku-tewu)
sudah ada pemiliknya dan jangan diberikan pada orang lain. Setelah proses awal
“ono muku-rina tewu”, diterima dan disetujui oleh si gadis dan orangtuanya maka dilanjutkan
dengan tahap kedua ini. Pihak laki-laki
akan membawa belis (mbuku teo muku-tanda tewu) berupa emas murni sesuai
kesepakatan.
So’I ru’u-wenda tanda
So’I : mengangkat, melepaskan. Wenda : menarik untuk melepaskan.Soi-wenda
: padanan kata yang artinya sama yaitu menarik dan melepaskan. Ruu : larangan.
Tanda: tanda: Ruu-tanda: tanda larangan. “So’I ru’u-wenda tanda”
berarti pihak laki-laki melepaskan tanda larangan (ruu) dan memulai proses adat
selanjutnya. Dari pihak laki-laki memberikan belis berupa satu batang gading
(sa toko) dan emas (wea).
Negi ate ine-baba
Negi :
menguatkan. Ate : hati. Ine-baba: bapa-mama si gadis. Negi ate ine-baba :
menguatkan hati orangtua si gadis bahwa anak gadis mereka sudah memiliki
tunangan yang resmi. Orangtua tidak merasa ragu lagi. Pihak laki-laki
(weta-ane) memberikan belis sebagai
tanda kekuatan kepada pihak perempuan (kae-embu) bahwa mereka sungguh-sungguh
mau mengambil anak gadis menjadi isteri dari anak laki-laki mereka. Proses
selanjutnya seperti “ana dhei dhato” yaitu kiri pipi-mbinge inga, Pete negi
rike nggiki, kuni dudu, weka tee-soro zani, Bhanda mere, tu dhu-nawu jeka.