Berpesta Sambil Merenung Bersama Bung Karno
Ruang publik sudah selayaknya digunakan untuk kegiatan publik sebagaimana tujuan dibuat tempat tersebut. Hal itu tidak berlaku di Kota Ende, Flores, NTT. Ada sebuah ruang publik yang bernama Taman Renungan Bung Karno (TRBK) yang diresmikan pada tanggal 1 juli 2013 oleh Wakil Presiden Boediono kala itu. Secara historis, Taman Renungan Bung Karno dibuat untuk mengenang tempat itu yang diyakini sebagai tempat yang sering dikunjungi oleh Bung Karno ketika masa pembuangannya di Ende pada tahun 1934-1938. Di tempat inilah Bung Karno merenung dan mengilhami Pancasila sebagai dasar negara tersebut. Di bawah pohon sukun yang bercabang lima.
Sungguh sebuah keanehan karena Taman tersebut digunakan sebagai gelanggang pesta pernikahan. Tempat itu dianggap cukup “tampan” untuk sebagai tempat pesta yang meriah. Lebih miris lagi karena Sang pemilik hajatan, tak lain dan tak bukan adalah publik figur di Kabupaten Ende. Pejabat itu, mungkin merasa mempunyai kuasa, sehingga ia dengan seenaknya menggunakan ruang publik itu.
Sebagai seorang publik figur yang disegani dan dihormati di kalangan masyarakat Ende, Pejabat sudah selayaknya bisa menempat diri dengan baik. Bisa memikirkan dampak yang timbul akibat dilakukan acara tersebut. Di sini saya mencoba menguraikan beberapa dampak yang sungguh sangat membikin hati teriris bagi yang Empunya pesta.
Yang Pertama, secara logika, masyarakat di Kabupaten Ende akan beranggapan bahwa Pejabat tercinta kita, tak memiliki dana yang cukup untuk menyewa tempat/ gedung sehingga dengan malu-malu, terpaksa harus dengan berat hati menggunakan Taman Renungan Bung Karno sebagai tempat pesta. Lagi pula tempat tinggal Pejabat itu dekat, sehingga tidak perlu keluar biaya sewa mobil untuk transportasi pengangkutan bahan konsumsi.
Yang Kedua, Pejabat tersebut sungguh sangat dan amat paham betul bagaimana filosofi jurnalistik. “Bila anjing menggigit manusia itu wajar, bila manusia menggigit anjing itu baru berita”. Berbekal dengan pemahaman itu, Pejabat mulai melancarkan jurusnya sehingga ketika betul terjadi pesta di tempat itu, ia akan dikenang sepanjang masa sebagai Pejabat fenomenal. Bisa membuat pesta di samping Sang Proklamator yang sedang duduk merenung. Bisa jadi Ia ingin menghibur Bung Karno yang telah lama tak berpesta. Hanya duduk termenung seorang diri sambil menanti kamera-kamera pengunjung menjepretnya. Saya juga berharap bisa masuk rekor MURI, agar Ende menjadi terkenal.
Yang ketiga, Si Pembuat Pesta sungguh amat peduli dengan keadaan taman. Ia berniat membangun taman itu lebih bagus. Apalah artinya rumput yang diangkut dari luar pulau. Apalah gunanya tempat itu tanpa pesta. Apalah untungnya bila hanya menatap tempat itu. Lebih baik kita berpesta. Mungkin dengan segelas moke atau bir, kita bisa menyiram rumput yang mulai kering itu agar ia bertambah subur. Dengan sepatu mengkilap, kita bisa menginjak-injak rumput sebagai gemburan bagi tanah agar rumput cepat menjalar. Dengan tawa canda, senda gurau, kita mampu menghalau semua sampah yang ada. Toh, ketika senang, sampah itu dengan sendirinya menyingkir ke tempatnya.
Yang keempat, sebagai Pejabat yang punya kuasa, tentu ia harus membuat kegiatan yang fenomenal. Bukankah itu program kerja? Begitu banyak festival dan kegiatan yang menaikan pamor. Membuat kegiatan yang disenangi masyarakat. Toh, masyarakat Ende itu hobinya hura-hura, minum moke, makan daging dan berjoget wanda pau dan gawi to? Itu seharusnya diperhatikan oleh pemimpin masa lalu. Membuat kegiatan yang meriah tanpa ada dampak positif yang berguna bagi masyarakat. Itu baru pemimpin. Umpamanya meniup balon. Amat besar namun isinya kosong. Na ata ende pale dhei to?
Yang kelima, Sungguh si Pembuat Pesta tidak paham dengan kegelisahan anak muda khusus para jomblo. Itu tempat paling romantis untuk para jomblo menikmati malam. Duduk sendirian, makan gorengan sambil melihat yang lain berpasangan. Sungguh acara itu sudah membikin ruang untuk para jomblo mengekspresikan diri tertutup. Kasihan juga bagi mereka yang berpasangan. Tak bisa memadu kasih lagi karena sudah menjadi arena pesta.
Aha.. besok saya berencana menikah. Tempat pestanya, saya akan membuat surat agar Rumah Jabatan itu bisa digunakan sebagai tempat pesta. Selamat berpesta!
Sungguh sebuah keanehan karena Taman tersebut digunakan sebagai gelanggang pesta pernikahan. Tempat itu dianggap cukup “tampan” untuk sebagai tempat pesta yang meriah. Lebih miris lagi karena Sang pemilik hajatan, tak lain dan tak bukan adalah publik figur di Kabupaten Ende. Pejabat itu, mungkin merasa mempunyai kuasa, sehingga ia dengan seenaknya menggunakan ruang publik itu.
Sebagai seorang publik figur yang disegani dan dihormati di kalangan masyarakat Ende, Pejabat sudah selayaknya bisa menempat diri dengan baik. Bisa memikirkan dampak yang timbul akibat dilakukan acara tersebut. Di sini saya mencoba menguraikan beberapa dampak yang sungguh sangat membikin hati teriris bagi yang Empunya pesta.
Yang Pertama, secara logika, masyarakat di Kabupaten Ende akan beranggapan bahwa Pejabat tercinta kita, tak memiliki dana yang cukup untuk menyewa tempat/ gedung sehingga dengan malu-malu, terpaksa harus dengan berat hati menggunakan Taman Renungan Bung Karno sebagai tempat pesta. Lagi pula tempat tinggal Pejabat itu dekat, sehingga tidak perlu keluar biaya sewa mobil untuk transportasi pengangkutan bahan konsumsi.
Yang Kedua, Pejabat tersebut sungguh sangat dan amat paham betul bagaimana filosofi jurnalistik. “Bila anjing menggigit manusia itu wajar, bila manusia menggigit anjing itu baru berita”. Berbekal dengan pemahaman itu, Pejabat mulai melancarkan jurusnya sehingga ketika betul terjadi pesta di tempat itu, ia akan dikenang sepanjang masa sebagai Pejabat fenomenal. Bisa membuat pesta di samping Sang Proklamator yang sedang duduk merenung. Bisa jadi Ia ingin menghibur Bung Karno yang telah lama tak berpesta. Hanya duduk termenung seorang diri sambil menanti kamera-kamera pengunjung menjepretnya. Saya juga berharap bisa masuk rekor MURI, agar Ende menjadi terkenal.
Yang ketiga, Si Pembuat Pesta sungguh amat peduli dengan keadaan taman. Ia berniat membangun taman itu lebih bagus. Apalah artinya rumput yang diangkut dari luar pulau. Apalah gunanya tempat itu tanpa pesta. Apalah untungnya bila hanya menatap tempat itu. Lebih baik kita berpesta. Mungkin dengan segelas moke atau bir, kita bisa menyiram rumput yang mulai kering itu agar ia bertambah subur. Dengan sepatu mengkilap, kita bisa menginjak-injak rumput sebagai gemburan bagi tanah agar rumput cepat menjalar. Dengan tawa canda, senda gurau, kita mampu menghalau semua sampah yang ada. Toh, ketika senang, sampah itu dengan sendirinya menyingkir ke tempatnya.
Yang keempat, sebagai Pejabat yang punya kuasa, tentu ia harus membuat kegiatan yang fenomenal. Bukankah itu program kerja? Begitu banyak festival dan kegiatan yang menaikan pamor. Membuat kegiatan yang disenangi masyarakat. Toh, masyarakat Ende itu hobinya hura-hura, minum moke, makan daging dan berjoget wanda pau dan gawi to? Itu seharusnya diperhatikan oleh pemimpin masa lalu. Membuat kegiatan yang meriah tanpa ada dampak positif yang berguna bagi masyarakat. Itu baru pemimpin. Umpamanya meniup balon. Amat besar namun isinya kosong. Na ata ende pale dhei to?
Yang kelima, Sungguh si Pembuat Pesta tidak paham dengan kegelisahan anak muda khusus para jomblo. Itu tempat paling romantis untuk para jomblo menikmati malam. Duduk sendirian, makan gorengan sambil melihat yang lain berpasangan. Sungguh acara itu sudah membikin ruang untuk para jomblo mengekspresikan diri tertutup. Kasihan juga bagi mereka yang berpasangan. Tak bisa memadu kasih lagi karena sudah menjadi arena pesta.
Aha.. besok saya berencana menikah. Tempat pestanya, saya akan membuat surat agar Rumah Jabatan itu bisa digunakan sebagai tempat pesta. Selamat berpesta!