Stadion Megah dan Rore
-- Catatan Iseng Untuk Orang Ende di Eltari Cup 2017
Pertandingan bola kaki se provinsi NTT yang memperebutkan piala bergilir Eltari menyuguhkan kepada kita berbagai kisah. Mulai munculnya beragam komentator bola yang secaranya nyata sangat subjektif sampai pada munculnya pekikan-pekikan penyemangat dengan menggunakan bahasa setempat.
Saya sendiri belum bisa dikatakan pendukung sebuah Tim, walaupun secara administratif dan garis keturunan, saya murni berasal dari bumi kelimutu yang juga merupakan salah satu tempat pengasingan Bung Karno tersebut – Padahal sampai detik ini, saya belum sekalipun masuk dalam rumah pengasingan Bung Karno, yang dijadikan situs itu.—
Entah kenapa, belum ada sesuatu yang membuat saya harus rela mengantri tiket siang hari, dengan tanpa mempedulikan jam kerja, atau rela merusak gerbang stadion hanya karena telah membeli selembar karcis lima ribu rupiah. Padahal, seminggu sebelum perhelatan akbar Pertandingan sepak bola paling bergengsi di Provinsi ini, banyak orang rela datang untuk sekedar berfoto dan dengan bangga mengakui stadion yang katanya paling megah di NTT tersebut. Namun, stadion megah tersebut mulai rusak pintu gerbangnya hanya beberapa waktu setelah pertandingan pembuka. Artinya stadion itu baru dipakai beberapa menit. Mungkin paling lama sejam.
Ternyata kemegahan hanyalah sebatas saling pamer. Mulai dari pamer di facebook, sampai dengan pamer nama besar masa kepemimpinan Raja tertentu yang bisa membangun stadion itu. Hal ini membuat saya berpikir dan terus berpikir. Seberapa besar penghasilan yang didapat dari sebuah stadion megah tersebut dengan anggaran miliaran rupiah yang telah dikucurkan dalam proses pembangunannya?
Ada teman yang berkomentar. Kita jangan berpikir tentang anggaran yang dikeluarkan. Kita seharusnya berterima kasih lantaran di bumi kelimutu ini, ada stadion megah. Itu saja titik. Lalu saya berpikir lagi, ternyata kita berbuat sesuatu hanya untuk kebanggaan semata tanpa ada faedah lain. Cukup dengan nama besar tanpa perlu manfaat lain yang terus mengalir.
Ende sebagai tuan rumah dan stadion megah, muncul pula satu pekikan atau apalah namanya yang sangat bergema dalam stadion ketika Perse Ende bertanding. Selalu saja kita dengar teriakan “Rore”. Teriakan ataupun komentar di berbagai media sosial dengan kata rore ini membuat saya gagal paham. Apa maksud dari rore ini.
Secara harafiah rore sendiri dalam bahasa ende berarti sembelih atau menggorok leher. Jadi dalam bahasa ende, rore mempunyai arti memenggal leher. Namun, kata rore ini berkembang sekitar tahun 2010. Saat itu mulai banyaknya mobil dengan tipe Pick Up yang digunakan sebagai mobil penumpang, menggantikan Bis kayu yang paling tenar se flores itu. Mungkin, harga pick up lebih murah dan ia lebih fleksibel masuk sampai ke kampung-kampung lantaran ukurannya yang kecil sehingga orang beralih ke mobil jenis ini.
Ketika mobil ini lewat dan ada yang menumpang pasti ada teriak rore.. rore.. di pinggir-pinggir jalan. Teriakan ini tentu saja mengundang amarah dari penumpang. Pasti ada teriakan balasan dalam bentuk makian ataupun hinaan. Yang berteriak bermaksud bahwa semua yang menumpang pick up adalah binatang seperti sapi, kambing ataupun babi, karena mereka berpikir bahwa mobil tersebut hanya untuk memuat binatang atau barang. Sedangkan, penumpang tentu tidak terima. Mereka tidak mau disamakan dengan binatang. Teriakan demikin tentu sangat menyakitkan.
Dalam perhelatan Piala Eltari kali ini, orang ende kehilangan nilai rasa tentang rore ini. Rore sudah berganti arti yang saya sendiri tidak tahu sampai saat ini. Ada satu penggalan lagu dalam mendukun Perse Ende, bunyinya begini. “ayo Ende, rore! Ayo Ende, rore!” bagi saya, kata rore ini memiliki makna yang ambigu. Apakah pendukung Perse Ende ingin me-rore lawannya, atau pendukung Perse Ende ingin agar pemain Perse me-rore Ende (Baca: merore orang Ende)
Di sini hal ekstrim mulai terjadi. Hanya karena memperebutkan sebuah piala bergilir yang merupakan benda mati, kita berniat “menyembelih” orang lain. Kemanusian kita hanya tidak lebih berharga dari sebuah piala. Adanya saling sikut dan hina baik lisan maupun tulisan mewarnai tanah lahirnya pancasila itu.
Orang boleh seenaknya mengejek bahkan merusak apapun padahal, katanya, nilai yang diambil dari sebuah pertandingan itu ialah sportifitas. Tak ada hasil pertandingan, karena yang paling utama ialah siapa dengan mulut paling besar beteriak menghina atau dengan jari paling tajam mengetik membunuh.
Saya sendiri tidak tahu, apa benang merah tulisan ini. Anggap saja ini curhatan yang merasa miris dengan keadaan latah mainstream di era smartphone lebih kreatif dari otak ini.