Rinduku di Grup Facebook Rajawawo Nua Mere dan Gaduhnya Oleh Postingan dari Wakil Rakyat.
Ilustrasi dari: benankmerah.co |
Rindu. Ya, itu kata
yang tepat. Pasalnya, saya memang rindu dengan Grup Facebook Rajawawo Nua Mere.
Sudah lama saya bergabung dengan grup ini. Sejak tahun 2009. Sejak anggotanya masih sedikit kala itu. Puluhan
bahkan sampai seratus atau dua ratus. Sekarang malah sudah empat ribu empat
ratus enam orang.
Mengapa saya katakan
rindu? Pasalnya, beberapa bulan yang lalu, setelah menikah, saya menutup akun
saya. Saya berpikir bahwa sudah terlalu banyak waktu saya sia-siakan hanya
untuk bermain facebook. Namun, terkadang, dalam kesendirian –karena walau sudah
menikah, kami tetap LDR– saya merasakan rindu yang amat sangat untuk bertamu di
beranda grup. Sekedar melihat celoteh teman-teman, atau membaca berita dari
kampung bahkan membaca bagaimana perdebatan tentang masalah air minum di
kampung yang tak kunjung usai.
Sekarang, setelah saya
membuka lagi facebook saya kemarin, saya melihat sudah ada yang memposting
tentang orang-orang rajawawo yang menaclonkan dirinya jadi wakil rakyat. Dan saya
masih berpikir supaya TIDAK MEMILIH siapapun yang mencalonkan diri jadi wakil
rakyat, entah dari mana saja di Indonesia ini. Saya tidak melihat dari latar
belakang mereka, atau dari alasan apapun secara konstitusi. Saya hanya melihat
dari sisi logika berpikir saya. (mungkin juga salah).
Wakil rakyat. Dari kalimat
wakil rakyat, dalam benak saya, seharusnya mereka itu wakil dari rakyat. Tapi kenapa
pada umumnya, mereka yang mencalonkan diri sendiri. Saya tak pernah melihat
rakyat membuat petisi, menandatanganinya secara massal hanya karena mereka mau
agar wakil rakyatnya, orang yang ini saja.
Oke, mungkin saja,
logika berpikir saya yang keliru. Teman-teman bisa berkomentar untuk
memperbaikinya. Tapi, saya tidak terima, apabila ada yang berkomentar dari sisi
konstitusi dan regulasi yang ada. Sebab, saya tak paham itu. Di sini saya hanya
melihat dari sisi logika berpikir saya saja.
Dan, kenapa saya
menuliskan ini?
Saya sampai saat ini
merasa mempunyai beban moril buat tanah kelahiran saya, rajawawo. Sejak kuliah,
ketika sedang sangat penasaran dengan internet dan dunia virtual, saya
menemukan sangat sedikit tulisan tentang rajawawo ketika melakukan pencarian di
mesin pencari google. Di sini, saya merasa rajawawo itu harus dipopulerkan,
makanya saya dengan hobi menulis, menggunakan nama rajawawo untuk blog saya. Lengkapnya
https://pangeranrajawawo.blogspot.com/
Setelah selesai kuliah,
saya mndengarkan banyak keluh kesah dari masyarakat tana zozo. Mereka sungguh
merindukan adanya sosok wakil mereka yang duduk di kursi dewan perwakilan
rakyat kabupaten ende, untuk menyuarakan aspirasi mereka. The voice of the voiceless. Namun, hampir tiap kali periode
pemilihan, selalu ada lebih dari satu orang yang mencalonkan diri. Dengan jumlah
pemilih yang tidak mencapai satu kursi itu, kenapa orang rajawawo seolah
berlomba untuk mengejar untuk menjadi anggota dewan?
Dalam keseharian di
masyarakat, kita mengenal banyak praktik gotong royong yang berfilosofi
lokalitas tana zozo. Sebut saja minu ae
petu, bou tembo, waizaki, dll. Tapi anehnya, kenapa praktik seperti itu
tidak bisa di pakai untuk ini. Apakah gengsi primodial kita terlalu besar
sehingga kta lupa dengan praktik-praktik lokalitas kita yang berlandaskan
kekeluargaan?
Sampai di sini saja
dulu. Salam Rajawawo Nua Mere.
1 komentar:
Write komentarSetuju,kita perlu byk menggali sejarah asal usul dan budaya ambukajo agar tidak hilang tanpa makna...
Reply