Rinduku di Grup Facebook Rajawawo Nua Mere dan Gaduhnya Oleh Postingan dari Wakil Rakyat.

September 23, 2018 1 Comments A+ a-

Ilustrasi dari: benankmerah.co

Rindu. Ya, itu kata yang tepat. Pasalnya, saya memang rindu dengan Grup Facebook Rajawawo Nua Mere. Sudah lama saya bergabung dengan grup ini. Sejak tahun 2009.  Sejak anggotanya masih sedikit kala itu. Puluhan bahkan sampai seratus atau dua ratus. Sekarang malah sudah empat ribu empat ratus enam orang.

Mengapa saya katakan rindu? Pasalnya, beberapa bulan yang lalu, setelah menikah, saya menutup akun saya. Saya berpikir bahwa sudah terlalu banyak waktu saya sia-siakan hanya untuk bermain facebook. Namun, terkadang, dalam kesendirian –karena walau sudah menikah, kami tetap LDR– saya merasakan rindu yang amat sangat untuk bertamu di beranda grup. Sekedar melihat celoteh teman-teman, atau membaca berita dari kampung bahkan membaca bagaimana perdebatan tentang masalah air minum di kampung yang tak kunjung usai.

Sekarang, setelah saya membuka lagi facebook saya kemarin, saya melihat sudah ada yang memposting tentang orang-orang rajawawo yang menaclonkan dirinya jadi wakil rakyat. Dan saya masih berpikir supaya TIDAK MEMILIH siapapun yang mencalonkan diri jadi wakil rakyat, entah dari mana saja di Indonesia ini. Saya tidak melihat dari latar belakang mereka, atau dari alasan apapun secara konstitusi. Saya hanya melihat dari sisi logika berpikir saya. (mungkin juga salah).

Wakil rakyat. Dari kalimat wakil rakyat, dalam benak saya, seharusnya mereka itu wakil dari rakyat. Tapi kenapa pada umumnya, mereka yang mencalonkan diri sendiri. Saya tak pernah melihat rakyat membuat petisi, menandatanganinya secara massal hanya karena mereka mau agar wakil rakyatnya, orang yang ini saja.

Oke, mungkin saja, logika berpikir saya yang keliru. Teman-teman bisa berkomentar untuk memperbaikinya. Tapi, saya tidak terima, apabila ada yang berkomentar dari sisi konstitusi dan regulasi yang ada. Sebab, saya tak paham itu. Di sini saya hanya melihat dari sisi logika berpikir saya saja.

Dan, kenapa saya menuliskan ini?
Saya sampai saat ini merasa mempunyai beban moril buat tanah kelahiran saya, rajawawo. Sejak kuliah, ketika sedang sangat penasaran dengan internet dan dunia virtual, saya menemukan sangat sedikit tulisan tentang rajawawo ketika melakukan pencarian di mesin pencari google. Di sini, saya merasa rajawawo itu harus dipopulerkan, makanya saya dengan hobi menulis, menggunakan nama rajawawo untuk blog saya. Lengkapnya https://pangeranrajawawo.blogspot.com/

Setelah selesai kuliah, saya mndengarkan banyak keluh kesah dari masyarakat tana zozo. Mereka sungguh merindukan adanya sosok wakil mereka yang duduk di kursi dewan perwakilan rakyat kabupaten ende, untuk menyuarakan aspirasi mereka. The voice of the voiceless. Namun, hampir tiap kali periode pemilihan, selalu ada lebih dari satu orang yang mencalonkan diri. Dengan jumlah pemilih yang tidak mencapai satu kursi itu, kenapa orang rajawawo seolah berlomba untuk mengejar untuk menjadi anggota dewan?

Dalam keseharian di masyarakat, kita mengenal banyak praktik gotong royong yang berfilosofi lokalitas tana zozo. Sebut saja minu ae petu, bou tembo, waizaki, dll. Tapi anehnya, kenapa praktik seperti itu tidak bisa di pakai untuk ini. Apakah gengsi primodial kita terlalu besar sehingga kta lupa dengan praktik-praktik lokalitas kita yang berlandaskan kekeluargaan?
Sampai di sini saja dulu. Salam Rajawawo Nua Mere.

1 komentar:

Write komentar
M. DJUMA ALHA
AUTHOR
10/23/2020 delete

Setuju,kita perlu byk menggali sejarah asal usul dan budaya ambukajo agar tidak hilang tanpa makna...

Reply
avatar

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...