Perjalanan Puitik ke Pulau Ende
Dua hari yang lalu (Sabtu,20 Juli 2013)
saya berkesempatan mengunjungi Pulau Ende. Perjalanan perdana saya menuju salah
satu Pulau di Kabupaten Ende. Pulau yang mengingatkan saya akan mitologi dan
sejarah panjang pengaruh peradaban dari luar dan masuknya agama misi. Cerita tujuan perjalanannya bisa di baca di Sehati Menuju Sehat. Perjalan ini membuat saya berpikir dan harus
menuliskan tentang sebuah perjalanan yang paling puitik selama pertualang raga
dan bathin saya.
Sebuah siang yang
terik. Matahari menikam tepat di atas ubun-ubun. Saya telah menunggu di pantai.
Menghitung satu dua tiga perahu motor yang melaju. Datang dan perginya seperti
kedatangan dan kepulangan cinta. Cinta juga demikian tergesa dan kadang pulang
tanpa berpamitan. Saya terus menikmati pemandangan ini dengan diam, di sebuah
los pasar yang tidak dipakai. Seseorang tiba-tiba datang duduk di samping kiri
lalu bertanya: “ke pulau juga?” Saya
kaget. Ia bertanya pada saya. “Iya. Ke
pulau, tapi masih tunggu teman”. Saya berucap dan perkataan itu yang terakhir
memisahkan kami dari semua kemungkinan pertemuan yang tak terjadwal. Ia
beranjak terlebih dahulu menumpang sebuah perahu motor.
Beberapa saat kemudian,
ada sebuah pesan yang masuk di ponsel saya. Dari teman yang saya tunggu. Isinya
mengabarkan saya untuk menunggu. Beberapa kemudian ia telah datang. Kami pun
menuju perahu motor yang berukuran kecil. Sebelum menumpang perahu motor, kami
terlebih dahulu menumpang perahu dayung untuk menuju ke perahu motor karena
perahu tadi tidak berlabuh di dermaga.
Di atas perahu motor
kecil yang cukup cepat lajunya itu, saya kemudian menyadari bahwa inilah awal
perjalanan puitik saya. Suasana percikan
air laut dari samping kanan dan kiri yang membasahi wajah dan tangan saya membuka perjalanan puitik itu. Saya kemudian
membayangkan pada penggalan sebuah puisi dari Pelopor Angkatan 45. Chairil
Anwar.
Perahu
melancar, bulan memancar
Dileher
kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut
terang, tapi terasa
Puisi ini yang memang pertama
kali merayu saya untuk berpuisi sejak SMA. Kemudian menjadi salah satu puisi
favorit saya. Membayangkan puisi itu, saya merasa bahwa perjalanan ini tak
sia-sia. Air laut yang asin mencoba memerciki muka saya. Sesekali saya mencoba
mengecap tetes yang mencoba turun bermuara di bibir saya.
Perjalanan ini juga
memberikan imajiner perjalanan sejarah bagi saya. Saya mebayangkan kedatangan
bangsa portugis di tempat ini untuk pertama kalinya di pertengahan abad ke enam
belas. Sayang, saya tidak bisa melihat jejak peninggalan sejarah bangsa
portugis yang tidak terawat lagi tersebut. Benteng fortaleza de ende minor. Benteng yang memberikan sejarah panjang
tentang penyebaran agama misi. Katolik dan kemudian diganti Islam. Kedua paham
Monotheistik Abrahamik tersebut pada
mulanya berawal dari sini dan kemudian menyebar ke seluruh daerah Kabupaten
Ende.
Perjalanan puitik ini
kemudian membuat saya mencoba berpuisi. Dengan tidak meninggalkan kalimat Sang
Maestro yang menginspirasi, saya kemudian menulis demikian.
L
Mentari
menikam ubun-ubun
Perahu
mesin kecil melaju
Tak
kukalungkan ole-ole di leher
Tak
ada pacar di sana
Hanya
air memancar dengan gemas
Meninggalkan
garam untuk diludah
Pulau ende, 20 juli
2013