Pemulihan Yang Gagal Dilukiskan
(Tentang Film “Ketika Bung di Ende”)
Ketika Bung Di Ende
Sutradara: Viva Westi
Penulis Naskah: Tubagus Deddy Safiudin
Pemain: Baim Wong, Paramitha Rusady, Tio Pakusadewo, Niniek L Karim
Produksi: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan PT Cahaya Kristal Media Utama
Beberapa bulan lalu, masyarakat kota Ende, Flores, NTT ramai-ramai
berbondong ke tempat-tempat yang dijadikan setting film “Ketika Bung Di
Ende”. Ada yang datang hanya untuk sekedar bisa berfoto bersama artis
Paramitha Rusady dan Baim Wong. Ada yang datang untuk melihat bagaimana
sebesarnya cara pembuatan film. Bisa dimakhlumi karena masyarakat di
sana belum terbiasa dengan kegiatan shooting film.
Namun, ada
juga sebagian kecil masyarakat yag ingin melihat lebih dekat bagaimana
sebenarnya ‘rekonstruksi’ kreatif kisah hidup Sukarno selama di Ende.
Kelompok ini jugalah yang menunggu penuh harapan hasil akhir film yang
melukiskan kisah hidup Sukarno selama di Ende, 14 Januari 1934 hingga 18
Oktober 1938.
Ketika film tersebut diputar di TVRI belum lama
ini, banyak apresiasi yang datang. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang
kecewa.
Pada dasarnya, maksud film ini bagus yaitu mengangkat
tema pembuangan Sukarno di Ende. Sukarno dilukiskan sebagai pribadi
yang tersiksa batinnya menyusul ketiadaan teman diskusi politik dan
kebangsaan yang sepadan.
Pertemanaannya dengan para pastor
misionaris Belanda di Ende di kemudian hari memudahkannya membaca di
perpustakaan biara. Sukarno tidak segan-segan membaca dokumen gereja dan
surat-surat public dari Vatikan.
Di tengah situasi yang
sangat katolik itu, Sukarno ternyata semakin menjadi islam. Dia mendalam
agamanya. Dia menemukan islam sebagai agama yang sangat mendukung
demokrasi. Secara rutin, Bung Karno mengadakan pengajian dua kali
seminggu di rumahnya.
Film itu berjalan terus. Terkesan datar,
lamban, banyak setting yang sama. Dan, parahnya adalah film ini
(sepertinya) tanpa klimaks. “Sebab, Sukarno selama di Ende hidupnya
flat, istilahnya sekarang galau, galau, galau,” ujar sutradara Viva
Westi pada sebuah diskusi film di Bandung, (2/11/13).
Benar
bahwa ada juga adegan yang melukiskan kesukaan Sukarno menikmati Teluk
Numba, melihat Danau Kelimutu, dan kegemarannya memelihara monyet dan
kucing. Namun, hal itu terkesan hanya ditambahkan sebagai pelengkap
film.
Jika dilihat ke belakang, film ini sebenarnya disiapkan
secara serius. Kementerian pendidikan dan kebudayaan mengucurkan dana Rp
8 miliar. Sebuah angka yang “Wouw” untuk masyarakat Ende dan NTT.
Beberapa nama besar juga masuk dalam tim film itu seperti sejarawan UI
Peter Kaseda dan penulis buku tentag Sukarno Roso Daras.
Kegagalan film tersebut diakui penulis naskah Tubagus Eddy. Menurut dia,
timnya hanya menampilkan sosok sang proklamator dari sisi pemikiran dan
ucapan yang masih relevan dengan zaman sekarang seperti isu keberagaman
dan kesetaraan.
“Kami kesulitan memvisualkan pemikiran bung Karno,” ucap Tubagus Eddy.
Sebagai seorang putera Ende, saya berada dalam kelompok teman-teman
yang kecewa. Pertama, betapa gampangnya Viva Westi mengatakan hidup
Sukarno flat dan galau dan oleh karena itu dia seperti mendapat
legitimasi untuk membuat sebuah film yang flat. Sejarah film mencatat
banyak film tentang pergolakan batin yang bisa diramu dengan baik.
Misalnya, film tentang Anne Frank dan beberapa contoh lainnya. Hal yang
sama juga ditujukan untuk penulis Tubagus Eddy yang menyerah kalah
dengan ketidakmampuan memvisualkan pemikiran Sukarno.
Mungkin
menjadi sebuah kebijaksanaan jika Viva dan Eddy mengatakan
ketidakmampuan sejak awal. Agar, film yang menelan dana besar ini
dipercayakan kepada yang lebih bisa.
Kedua, film itu terkesan
dibuat terburu-buru. Saya membayangkan kalau film ini melibatkan lebih
banyak orang yang mengerti Ende dan Sukarno semisal Dr Ignas Kleden, Dr
Daniel Dhakidae, dan beberapa tokoh dan pemikir tentang Sukarno
lainnya. Juga, kementerian pendidikan dan kebudayaan terlalu UI-sentris
seolah-olah sejarawan UI bisa melihat seluruh Indonesia. Mengapa
kementerian tidak melibatkan sebuah sekolah tinggi atau induk lembaga
studi di Flores yang pernah menjadi tempat belajar Sukarno.
Ketiga, agak subjektif, imajinasi saya lebih merasa dididik oleh salah
satu edisi majalah Prisma tentang makna Ende untuk Sukarno dan Ende
untuk Indonesia yang terbit setengah tahun lalu daripada menonton dua
jam film yang tidak mengajak pemirsa untuk berpikir ini.
Catatan-catatan lain bisa ditambahkan para saudara pembaca sekalian.
Namun, sebagai sebuah film, saya tetap mengapresiasi kerja kreatif.
Mungkin akan dikoreksi dan disempurnakan pada film-film berikutnya.
JAKARTA, 9/12/13
ps: Tulisan ini di copy-paste dari Akun facebook penulis. Silakan lihat di sini