Belkaga Untuk Mewujudkan Indonesia Bebas Filariasis 2020
Kaki Gajah merupakan salah satu jenis penyakit menular berbahaya serta bisa menimbulkan cacat fisik bagi si penderita. Dalam dunia kesehatan, Kaki Gajah dikenal sebagai Filariasis yang disebabkan oleh Cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vector penular penyakit kaki gajah. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan cepat dan optimal dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Indonesia masih rawan terhadap perkembangan penyakit Filariasis atau Kaki Gajah. Sebanyak 105 juta penduduk di 241 kabupaten/kota endemis, rentan terkena penyakit ini. Di NTT sendiri berdasarkan data terakhir tahun 2014 memiliki kasus sebanyak 3175 kasus, dan merupakan kasus paling tinggi untuk semua propinsi di Indonesia. Hal ini cukup memprihatinkan karena secara perkiraan penularan filariasis, dalam satu kasus kronis bisa diestimasi adanya 10 kasus akut yang sudah ada gejala dan 100 kasus sudah tertular belum menimbulkan gejala dan berpotensi menularkan. Dengan kata lain, dalam satu kasus yang ditemukan diduga sudah ada sepuluh penderita lainnya dalam satu wilayah.
Dalam skala Kabupaten, Kabupaten Ende secara nasional merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang masih berisiko terhadap penyakit filaria dan malaria. Hal ini disebabkan selain Kabupaten Ende tergolong sebagai daerah endemis, juga disebabkan oleh perilaku sebagian masyarakat penderita filaria yang menganggap filariasis (kaki gajah) merupakan hal yang biasa. Selain itu, wilayah-wilayah endemis filaria umumnya di desa-desa terpencil yang masih sulit dijangkau oleh sarana transportasi sehingga masih menyulitkan untuk dilakukan deteksi dini dan intervensi/pengobaatan. Berdasarkan Data, Dinas Kesehatan Kabupaten Ende mencatat hingga akhir tahun 2014 ada 105 orang yang menderita kaki gajah kronis tersebar di beberapa kecamatan, terbanyak di kecamatan Maukaro (48%). Ini menjadi catatan bersama seluruh stakeholder karena pencegahan dan eliminasi kaki gajah merupakan kerja sama lintas sektoral.
Kementerian Kesehatan RI melaksanakan pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) selama lima tahun berturut-turut. Salah satu solusi yang dilakukan yakni dengan Bulan Eliminasi Kaki Gajah atau yang disingkat Belkaga. Setiap bulan Oktober selama lima tahun setiap penduduk kabupaten/kota endemis serentak minum obat pencegahan. Kabupaten Ende sudah mulai melaksanakan kegiatan pemberian obat massal untuk pencegahan filariasis (POPM) kepada seluruh masyarakat dari tahun 2011 dan akan berakhir pada tahun 2016 mendatang. Dengan harapan, pada tahun 2020, Kabupaten Ende telah tereliminasi dari penyakit kaki gajah tersebut.
Pemerintah sudah melakukan upaya-upaya yang cukup serius dalam pemberantasan kaki gajah. Upaya pemerintah untuk mencegah penularan penyakit Kaki Gajah ini adalah untuk mewujudkan Indonesia Bebas Kaki Gajah 2020. Keberhasilan terwujudnya Indonesia Bebas Kaki Gajah ditentukan oleh dukungan semua pihak, baik di jajaran pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat, termasuk kalangan swasta dan dunia usaha. Upaya yang dilakukan antara lain, Advokasi dan Sosialisasi (Promosi), Menggerakkan masyarakat minum obat untuk mencegah penyakit kaki gajah (Mobilisasi sosial), Mendekatkan pelayanan ke masyarakat dengan mendirikan Pos-pos Minum Obat di setiap desa, dusun, pemukiman dan lokasi-lokasi strategis lainnya, Meningkatkan peran lintas sektor dan masyarakat, terutama Media, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan sebagainya.
Selain itu, wujud nyata yang harus dilakukan dalam upaya elimanisasi ini, tentu yang paling diharapkan perannya adalah masyarakat sendiri. Masyarakat diajak untuk proaktif dalam menanggulangi dengan melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) karena keberadaan penyakit filaria di suatu wilayah disebabkan oleh empat faktor yakni; 1) Masalah lingkungan yang kumuh, 2) Perilaku manusia, 3) Pelayanan kesehatan yang belum optimal, dan 4) Penyakit keturunan. Masalah lingkungan menjadi yang paling besar risikonya terhadap penularan penyakit kaki gajah ini. Lingkungan yang tidak bersih memberikan dampak tersendiri. Lingkungan sendiri sangat tergantung pada perilaku manusia atau masyarakat di sekitar lingkungan tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan agar Indonesia bisa bebas dari penyakit kaki gajah di tahun 2020. Kegiatan berbasis masyarakat sebagai upaya promotif dan preventif, seperti, Kegiatan penyuluhan kesehatan guna meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya filaria agar masyarakat memiliki pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), kegiatan pemutusan rantai penularan filaria, Mencegah dan membatasi kecacatan akibat filaria, Memperkuat surveilance, Tidur menggunakan kelambu dan Sedapat mungkin menggunakan obat nyamuk atau memakai obat gosok antinyamuk jika berada di luar rumah.
Di masyarakat Kader filaria juga menjadi ujung tombak untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk mencegah penyakit filaria. Kader diberikan pelatihan pada Unit Pelayanan Teknis Kesehatan di wilayahnya dengan harapan agar ilmu yang mereka peroleh dapat ditularkan kembali ke masyarakat di desa atau lingkungan mereka. Ini menjadi salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat.
Hal paling utama yang seharusnya dibangun ialah pola pikir masyarakat. Masih kentalnya paradigma sakit di masyarakat atau dengan kata lain seseorang merasa sakit baru datang berobat, tentunya harus diubah. Sudah seharusnya masyarakat proaktif terhadap kesehatannya sendiri, karena sehat merupakan hak asasi. Masyarakat hendaknya lebih aktif berkunjung ke pusat pelayanan kesehatan terdekat guna menggali informasi kesehatan sebagai bentuk kepedulian kesehatan diri sendiri. Sudah saatnya, paradigma sehat lebih dikedepankan. Memang, kesehatan bukanlah segalanya, namun tanpa kesehatan segalanya tak berarti apa-apa.