Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan

Mencinta


rasa ini besar dan membesar
semakin besar kaudiam
menanggalkan  rindu
tanpa meninggalkan janji

terpaksa caramu dicontohi
biar kautahu cara membunuh
kautaburi gula dalam hati
tak lupa menitip semut
mengerat pergi, tinggal perih

kenang-kenanglah ini
dengan mencinta
yg dikenang

Percakapan Cinta Angin Kepada Matahari



"Hei Kacamata! Siapa namamu, Boleh kupinjam kotak kaca ini, agar kulihat bening matamu yang merindukanku?" Angin berlalu kepada matahari sore
"Kalau aku meminjamkan kaca mata ini, aku tak bisa lagi memandang senyummu yang paling manis" Matahari setengah berbisik kepada angin
"Lihat saja pakai mata bathin. bukankan di sana bayanganku lebih bening dan jujur?" Angin menimpali
"Aku malas melihat dengan mata apapun cukup kurasakan hawa hangat cintamu yang mengalir di dalam darahku" Matahari menyunggingkan senyum

Setelah malam, angin menangis. tak ada lagi ia melihat kekasihnya matahari. sekedar menghirup cahayanya yang keemasan pun tak dapat. ia pasrah. bisa saja, matahari telah membohongi dirinya. atau ia tengah berselingkuh dengan alam lain, meninggalkan dirinya yang mendadak sepoi.

Angin menahan sedih. merasa ia telah ditipu matahari. maka, dengan perasaan yang paling tersakiti ia mengrebek seisi dunia. angin begitu cepat menuntaskan hasrat mereka menguasai segala keduniawian. penduduk di bumi yang lagi asyik mementingkan diri terhenyak. mereka yang sedang menghitung uang jarahan. yang sedang menindih tubuh wanita kaget. Angin telah menombak dengan tikaman paling tajam ke dasar nubari.
                                                                                                            (woloare, mei 2013)

Catatan: 
Puisi ini pernah dimuat di Jurnal Sastra SANTARANG edisi Agustus 2013

Perjalanan Puitik ke Pulau Ende



Dua hari yang lalu (Sabtu,20 Juli 2013) saya berkesempatan mengunjungi Pulau Ende. Perjalanan perdana saya menuju salah satu Pulau di Kabupaten Ende. Pulau yang mengingatkan saya akan mitologi dan sejarah panjang pengaruh peradaban dari luar dan masuknya agama misi. Cerita tujuan perjalanannya bisa di baca di Sehati Menuju Sehat. Perjalan ini membuat saya berpikir dan harus menuliskan tentang sebuah perjalanan yang paling puitik selama pertualang raga dan bathin saya.
Sebuah siang yang terik. Matahari menikam tepat di atas ubun-ubun. Saya telah menunggu di pantai. Menghitung satu dua tiga perahu motor yang melaju. Datang dan perginya seperti kedatangan dan kepulangan cinta. Cinta juga demikian tergesa dan kadang pulang tanpa berpamitan. Saya terus menikmati pemandangan ini dengan diam, di sebuah los pasar yang tidak dipakai. Seseorang tiba-tiba datang duduk di samping kiri lalu bertanya: “ke pulau juga?” Saya kaget. Ia bertanya pada saya. “Iya. Ke pulau, tapi masih tunggu teman”. Saya berucap dan perkataan itu yang terakhir memisahkan kami dari semua kemungkinan pertemuan yang tak terjadwal. Ia beranjak terlebih dahulu menumpang sebuah perahu motor.
Beberapa saat kemudian, ada sebuah pesan yang masuk di ponsel saya. Dari teman yang saya tunggu. Isinya mengabarkan saya untuk menunggu. Beberapa kemudian ia telah datang. Kami pun menuju perahu motor yang berukuran kecil. Sebelum menumpang perahu motor, kami terlebih dahulu menumpang perahu dayung untuk menuju ke perahu motor karena perahu tadi tidak berlabuh di dermaga.
Di atas perahu motor kecil yang cukup cepat lajunya itu, saya kemudian menyadari bahwa inilah awal perjalanan puitik saya. Suasana  percikan air laut dari samping kanan dan kiri yang membasahi wajah dan tangan saya  membuka perjalanan puitik itu. Saya kemudian membayangkan pada penggalan sebuah puisi dari Pelopor Angkatan 45. Chairil Anwar.
Perahu melancar, bulan memancar
Dileher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Puisi ini yang memang pertama kali merayu saya untuk berpuisi sejak SMA. Kemudian menjadi salah satu puisi favorit saya. Membayangkan puisi itu, saya merasa bahwa perjalanan ini tak sia-sia. Air laut yang asin mencoba memerciki muka saya. Sesekali saya mencoba mengecap tetes yang mencoba turun bermuara di bibir saya.
Perjalanan ini juga memberikan imajiner perjalanan sejarah bagi saya. Saya mebayangkan kedatangan bangsa portugis di tempat ini untuk pertama kalinya di pertengahan abad ke enam belas. Sayang, saya tidak bisa melihat jejak peninggalan sejarah bangsa portugis yang tidak terawat lagi tersebut. Benteng fortaleza de ende minor. Benteng yang memberikan sejarah panjang tentang penyebaran agama misi. Katolik dan kemudian diganti Islam. Kedua paham Monotheistik Abrahamik tersebut pada mulanya berawal dari sini dan kemudian menyebar ke seluruh daerah Kabupaten Ende.
Perjalanan puitik ini kemudian membuat saya mencoba berpuisi. Dengan tidak meninggalkan kalimat Sang Maestro yang menginspirasi, saya kemudian menulis demikian.
L

Mentari menikam ubun-ubun
Perahu mesin kecil melaju
Tak kukalungkan ole-ole di leher
Tak ada pacar di sana
Hanya air memancar dengan gemas
Meninggalkan garam untuk diludah

Pulau ende, 20 juli 2013

Sajak Umbu Landu Paranggi



Foto dari: http://4.bp.blogspot.com

Fragmen Upacara XXXIX
kepada Inna

tujuh lapis langit kutapis
teratas sungsang lapar dahaga

delapan peta bumi kukipas
terbawah hening runtuhan sukma

mencuim celah retak tanahtanah
serayaraya sawah ladang terimakasih mu

dan ringkik kuda putih putus tali
ke negeri dewata terlupa
(ke mataair matahari ribuan ternak)

menggiring yang berumah di sajaksajak
membasuh debu tungkai
barisan anakanak sulungmu
barisan anakanak bungsuku


Upacara XXIII

 rang tua karang
       yang bertahta di mahligai nyawaku
tumbuk tumbuklah, jadikan lidah anak lakimu
                                             bisu abadi
perasperaslah bisuku
yang senantiasa ajak bicara bisumu
       maka haru-birulah si anak batu
                 di batu asah kasihku
                       nuliskan puisi...

Foto dari: http://www.journalbali.com


INGATAN




:GM

Engkau membentuk kembali detik kita yang bercerita
Memanggil usir gerangan rindu yang memompa dada
Buat semangatku juga meluap kemudian menyurut

Doa pagimu tadi seperti terbersit rindu mendalam
“saya tidak pernah memarahimu wahai sangrembulan”
Kesempatan untuk pertemuan kita telah terblokir media

Suatu saat aku akn mencoba ke jalan yang lain
Mengikuti jejak angin yang berdesir di dada
Supaya kelak kita bisa saling bersitatap
Bercerita tentang rindu yang menggebu

Cinta atau entah apalah yang kita bangun
Berharap makin kokoh seperti karang rindu
Yang tak goyah oleh terpaan emosi melanda
                                                            (ende, 29 april 2013)

Tulisan Terbaru

Malam Itu

  Ilustrasi gambar dari: https://www.istockphoto.com/id/ Sore tadi tubuh saya benar-benar remuk. Bukan hanya karena kuliah yang menuntut kon...